Skip to main content

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (STRAFTRECHTERLIJKE TOEREKENING) DALAM AJARAN DUALISTIS

Kajian dalam hukum pidana memang tidak dapat terlepas dari tiga kajian pokok, yaitu tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal liability), dan pidana (punishment).[1] Ketiga pokok persoalan tersebut di atas diperlukan kajian yang berbeda dalam ilmu hukum pidana.
Persoalan pertanggungjawaban pidana tidak termasuk dalam pembahasan tindak pidana. Pembahasan pertanggungjawaban pidana seharusnya dilihat dari luar pembahasan tindak pidana. Pembahsan dalam tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana bagi barang siapa yang dengan kelakuannya melakukan tindak pidana.[2] oleh karena itu, pada tindak pidana hanya diatur sebatas padda unsur objektif, atau unsur-unsur pada perbuatan.
Pertanggungjawaban pidana merupakan proses penentu seorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Karena jika seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana. Sesuai dengan ajaran dualistis, yakni pandangan yang memisahkan antara tindak pidana (perbuatan pidana) dan pertanggungjawaban pidana. Pada ajaran tersebut mensyaratkan seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah terbukti melakukan tindak pidana. Namun tidak sebaliknya, seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana secara pasti telah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, kecuali telah ada pada dirinya kesalahan.
Pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana apakah juga memiliki konsekuensi atas pemisahan antara pertanggungjwaban pidana dan pemidanaan. Mempertanggungjawabkan seseorang bearti menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada diri orang tersebut. Jika memang ada kesalahan pada dirinya, maka baginya pemidanaan. Sebaliknya jika tidak terbukti adanya kesalahan pada dirinya, maka tidak dipidana. Oleh karena itu menurut Chairul huda, pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan.[3] Oleh karena itu pada tahap pertanggungjawaban pidana memiliki dua corak pembahasannya, yaitu mempertanggungjwabkan seseorang karena telah melakukan tindak pidana dan menjatuhkan pidana atas kesalahannya.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, Romli Atmasasmita mengutip pendapat Pound, yaitu “I . . . Use the simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjected exaction”.[4] Istilah “pertanggungjawaban” digunakan dalam keadaan, dimana pada satu sisi seseorang berhak untuk membalas secara hukum, dan di sisi lain secara hukum seseorang dibebankan pada ganti rugi.
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut di atas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dari pertanggungjawaban, dan sistem hukum secara timbal balik. Pound lebih jauh telah menguraikan perkembangan konsep liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[5]
Selanjutnya dikatakan oleh Romli Atmasasmita, yaitu dengan demikian konsepsi “liability” diartikan sebagai reparation. Terjadilah perubahan arti konsep “liability”: dari  konsep “composition for vengeance” (ukuran untuk membalas dendam) menjadi “reperation for injury” (pemulihan keadaan). Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal dari “liability” atau pertanggungjawaban.[6] 
Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa pertanggungjwaban atau liability merupakan suatu dampak dari adanya pelanggaran hak oleh seseorang. Perlu adanya ganti rugi sebagai timbal balik dari tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku. Pada akhirnya seorang yang telah merampas hak orang lain harus mempertanggungjawabkan atas tindakannya. Dalam hal ini Roeslan Saleh mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan seseorang itu bertanggungjawab atas perbuatannya. Para penulis pada umumnya, menurut Roeslan Saleh, tidak membicarakan konsepsi pertanggungjawaban pidana. Dikatakan Roeslan Saleh bahwa, mereka telah mengadakan analisis atau konsepsi pertanggungjawaban pidana, yaitu dengan berkesimpulan bahwa orang yang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya haruslah melakukan perbuatan itu dengan “kehendak bebas”. Sebenarnya jika hanya demikian, menurut Roeslan Saleh, mereka tidaklah membicarakan konsepsi pertanggungjawaban pidana, melainkan membicarakan ukuran-ukuran tentang mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang adanya pertanggungan jawab pidana.[7]
Selanjutnya juga Roeslan Saleh mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Mereka mencari dan menegaskan tentang syarat-syarat bagaimana yang harus ada makanya seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab atas suatu perbuatan pidana. Tetapi hasil dari penelitiannya itu tidak memberikan suatu keterangan sekitar apakah yang dimaksud bahwa seseorang itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Justru jawaban atas pertanyaan inilah sebenar-benarnya yang perlu mendapat pemikiran.
Kesalahan, Pertanggungan jawab dan Pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama, dan  hukum. Tiga unsur itu berkaitan suatu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan. Sistem aturan-aturan ini dapat bersifat luas dan aneka macam (hukum perdata, hukum pidana, aturan moral dan sebagainya). Kesamaan dari ketiga-tiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu rangkaian aturan tentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu kelompok tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungan jawab dan pemidanaan itu adalah sistem normatif.[8]                  

Pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana tidaklah dapat terlepas dari kesalahan. Dalam asas tidak tertulis yang berlaku dalam hukum pidana, yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld/keine straft ohne schuld), menjadi syarat penentu seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Di sini yang penting hanya hubungan antara kesalahan yang dipertanggungjawabkan itu dan sanksi yang menyertainya setelah itu. Sebab “kesalahan haruslah dasar dan alasan dari sanksi”.[9] Atau dapat juga bahwa aturan mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah untuk dijatuhi pidana.[10] Sehingga dengan demikian penjatuhan atas pemidanaan terhadap seseorang sesuai dengan kadar kesalahan yang terdapat pada diri orang tersebut.
Jika dikatakan bahwa syarat seorang dapat dijatuhi pidana haruslah terdapat kesalahan pada dirinya, maka sesungguhnya kesalahan merupakan proses menuju pemidanaan. Begitu pula jika ditentukan adanya kesalahan pada diri seorang, adakah tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang tersebut. Sehingga tidak ada kesalahan jika tanpa adanya tindak pidana yang dilanggar. Namun demikian, untuk dapat dikatakan seorang memiliki kesalahan tidak semata-mata hanya telah melakukan tindak pidana. Menurut Roeslan Saleh, kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:
a. melakukan perbuatan pidana;
b. mampu bertanggung jawab;
c. dengan kesengajaan atau kealpaan; dan
d. tidak  adanya alasan pemaaf.[11]
Ketentuan tersebut di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terdakwa sehingga sah untuk dijatuhkan pidana. Ketentuan tersebut secara tersusun bukan tidak memiliki makna. Dimulainya dengan melakukan tindak pidana terlebih dahulu harus dibuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa. Jika terbukti, maka dapat dilanjutkan pada tahap menentukan mampu bertanggungjawab. Namun sebaliknya jika tindak pidana tidak terbukti, penentuan mampu bertanggungjawab tidak perlu dilakukan karena terdakwa telah tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana, begitupun seterusnya.
Korporasi sebagai bagian subjek hukum pidana selain manusia juga dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggung-jawabkan. Hanya saja korporasi tidak sama dengan manusia. Korporasi hanya dapat melakukan perbuatan dengan perantara-perantara pengurusnya.[12] Pengurusnya berupa manusia yang menggerakkan aktifitas kegiatan korporasi. Hal tersebut berarti juga meliputi pada pertanggungjawabannya, jika memang korporasi sebagai pelaku tindak pidana.  Dengan demikian kesalahan sebagai dasar adanya pertanggugngjawaban pidana, bukan hanya berlaku pada manusia. Namun yang juga harus diperhatikan adalah kemampuan bertanggungjawab pada manusia berbeda dengan korporasi. Syarat (internal) kesalahan pada korporasi, bukan ‘kemampuan bertanggungjawab’ seperti manusia, tetapi sesuatu yang lain.[13] Mengenai syarat kesalahan tersebut menurut Chairul Huda dapat dilihat dari apakah korporasi tersebut telah menjadikan dapat dihindarinya tindak pidana sebagai kebijakannya dalam menjalankan usaha. Adalah kewajiban korporasi untuk selalu mengambil jarak sejauh mungkin dengan terjadinya suatu tindak pidana.[14]
Selanjutnya mengenai ada atau tidaknya kesengajaan atau kealpaan pada korporasi, menurut Chairul Huda kesalahan pada korporasi tidak ditandai baik kesengajaan maupun kelapaan. Pertama-tama hal ini disebabkan agak sulit untuk menentukan adanya kesengajaan pada korporasi.[15] Sulitnya pembuktian kesengajaan atau kealpaan pada korporasi karena berbeda pembuktiannya pada manusia. Hal tersebut karena pada tindak pidana korporasi yang menjalankan aktifitas korporasi adalah manusia. Dengan kata lain, apabila korporasi melakukan tindak pidana, maka terdapat manusia yang melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu tindak pidana korporasi hanya dapat terjadi dalam bentuk penyertaan, sehingga kesalahan korporasi merupakan lanjutan dari kesalahan pembuat materiilnya.[16]
Selanjutnya dibahas mengenai kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh, berikut di bawah ini dengan mengecualikan pada pelaku tindak pidana berupa korporasi.
      Melakukan  Tindak Pidana
Melakukan tindak pidana ini merupakan syarat utama dalam menentukan ada atau tidaknya kesalahan (secara normatif) pada diri seseorang. Karena tidak dimungkinkan jika seseorang dipertanggung-jawabkan pidana, namun tidak terdapat tindak pidana yang telah dilakukan oleh kelakuannya. Melakukan tindak pidana berarti melakukan aturan-aturan yang dilarang oleh perundang-undangan pidana. Sebagaimana menurut Moeljatno, perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.[17] Selanjuntnya juga menurut Roeslan Saleh perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum dan syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang.[18]
Menurut Chairul Huda tindak pidana dapat saja berupa perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.[19] Dengan kata lain, bahwa melakukan tindak pidana tidak hanya sebatas pada melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, tetapi juga meliputi tidak melakukan perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang dan melakukan perbuatan yang menimbulkan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang.
      Mampu Bertanggung Jawab
Mengenai kemampuan bertanggungjawab, Roeslan Saleh menyebutkan bahwa oleh penulis-penulis lain kemampuan bertanggungjawab diartikan sebagai mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan (tindak pidana) dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.[20] Hal tersebut memberikan ketentuan tentang kemampuan bertanggungjawab dapat dinilai dari dua sisi, yaitu akal dan kehendak. Namun pendapat tersebut terjadi penolakan dari Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ditentukan pertama-tama oleh akal, tetapi mengenai kehendak bukanlah merupakan faktor dalam menentukan mampu tidaknya orang yang bertanggung jawab. Hal tersebut karena mengenai kehendak adalah bergantung dan lanjutan saja dari pada akal. Bilamana akalnya sehat dan normal, artinya bilamana seorang mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan maka oleh hukum diharuskanlah kalau orang itu juga menentukan kehendaknya sesuai dengan yang diperbolehkan oleh hukum.[21]
Akal menjadi faktor utama dalam menentukan mampu atau tidaknya seorang yang melakukan tindak pidana dipertanggungjawabkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mampu bertanggungjawab dapat mengarahkan akalnya secara normal kepada perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum. Hal yang demikian juga menunjukkan bahwa dapat menghindari dari perbuatan yang dilarang oleh hukum. Dengan demikian akal dapat dikatakan sebagai alat berfikir untuk menenentukan arah perbuatan seorang.
Dalam KUHP, kemampuan bertanggung jawab dinyatakan secara negatif. Artinya ditentukan mengenai ketidak mampuan seseorang untuk mempertanggung jawabkan pidana. Pada Pasal 44 KUHP:
1)      Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana (tindak pidana), tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam passal 44 itu, maka tidak dipidana. Hal yang demikian menentukan seseorang yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab. Ketidak mampuannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena pada dirinya akal tidak berfungsi secara normal, sehingga bagi pelaku tidak dapat menentukan arah perbuatannya berdasarkan akal yang dimilikinya. Dengan demikian orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.[22]
3       Kesengajaan (dolus) atau Kealpaan (culpos)
Perkembangan ajaran dualistis yang memisahkan antara perbuatan (tindak) pidana dengan pertanggungjawaban pidana memiliki konsekuansi atas posisi dari bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan yang semula berada sebagai unsur tindak pidana menuju unsur pertanggungjawaban pidana. Kesalahan bukanlah persoalan dalam tindak pidana, tetapi berada di luar unsur tindak pidana. Tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana (barang siapa yang melanggar aturan terebut). Dengan demikian tindak pidana menyangkut persoalan perbuatan yang bersifat melawan hukum secara formal, yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pidana.
Kesengajaan dan kealpaan merupakan bentuk dari kesalahan, satu sama lain memiliki porsi tersendiri. Menurut Roeslan Saleh, kelapaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan. Karena itulah maka dalam KUHP ada delik-delik, di samping delik doleus sebagai jenis yang berat, ada delik culpoos sebagai jenis yang lebih ringan.[23] Maksud berat maupun ringannya tidaklah dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan tersebut. Hanya saja antara kesengajaan dan kealpaan memiliki perbedaan satu sama lain. Karena jikapun tidak demikian tidaklah terdapat aturan pasal dalam KUHP yang menyebutkan kesengajaan atau kealpaan sebagai bagian dari unsur tindak pidana.
Dikeluarkannya kesengajaan dan kealpaan dari unsur tindak pidana dalam rangka menegakkan prinsip bahwa dalam menjatuhkan putusan, hakim bebas bergerak antara batas maksimum khusus dan minimum umum, sehingga praktis penentuan batas-batas maksimum khusus itu tidaklah banyak artinya lagi, karena hakim dapat menjatuhkan pidana jauh di bawah batas maksimum yang ditentukan dalam tiap-tiap ancaman pidana.[24] Oleh karena itu, bergesernya kesengajaan dan kealpaan dari unsur tindak pidana menuju pertanggungjawaban pidana, dalam menentukannya tergantung pada penilaian hakim semata. Apakah terdapat kesengajaan atau kealpaan, hasil penilaian hakim berdasarkan fakta persidangan yang menentukan hasil dari penilaian tersebut. Oleh karenanya, jika kesengajaan dan kealpaan dikeluarkan dari unsur tindak pidana, ancaman pidana terhadap keduanya pun juga tergantung penilaian hakim. Namun demikian juga tanpa mengenyampingkan prinsip bahwa kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Sehingga jika hakim memandang adanya kesengajaan, pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa lebih berat dari terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan kealpaan.
Meskipun kesengajaan dan kealpaan merupakan bentuk dari kesalahan yang menentukan dapat dicelanya seorang dan dipidana, pembahasan antara keduanya dijabarkan secara terpisah, dengan beberapa teori yang mendukung dalam menentukan perbedaan antara keduanya secara tajam.
Pengertian kesengajaan maupun kealpaan tidak disebutkan dalam Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga hanya dapat dicari dari kreasi para ahli hukum pidana. Hal demikian tentu saja memiliki konsekuensi atas munculnya perbedaan pandangan terhadap pengertian kesengajaan dan kealpaan yang berujung pada penerapan yang berbeda pula. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809 dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan : “sengaja” diartikan: “dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.[25]
Menurut Roeslan Saleh, kesengajaan itu ada dalam tiap kelakuan terhadap mana kehendak kita ditujukan, akibat yang dimaksudkan dengan itu telah kita bayangkan terlebih dahulu.[26] Kesengajaan itu muncul ketika dalam pelaksanaannya, seseorang telah terdapat kehendak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, serta juga telah terbayang perbuatan tersebut dalam pikirannya, yang diartikan sebagai pengetahuan seseorang atas perbuatan tertentu. Jika  demikian nyatanya, maka dapat dikatakan seseorang melakukan perbuatan dengan kesengajaan. Oleh karenanya, mengenai kesengajaan ini dalam kepustakaan dikenal beberapa teori, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan.[27] Dengan teori tersebut dapat ditemukan pengertian kesengajaan secara deskriptif, yang kemudian dapat disimpulkan sebagai bentuk kesalahan, yakni kesengajaan.
Menurut teori kehendak, yang dapat diliputi oleh kesengajaan itu hanyalah apa yang dikehendaki oleh pembuat. Dengan kata lain teori kehendak, yaitu yang memandang bahwa tiap-tiap bentuk dari pada kesengajaan dapat diterangkan dari proses kehendak. Lebih lanjut dikatakan bahwa kehendak adalah merupakan arah. Ini berhubungan dengan motif (yaitu apa yang mendorong untuk berbuat) dan tujuannya. Konsekuensinya adalah, bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa, haruslah dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapai. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal.[28] Namun demikian, proses tersebut dilakukan lebih lama dan memakan waktu. Karena seorang hakim dalam membuktikan secara jelas keterkaitan antara motif, perbuatan dan tujuannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa memang suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja oleh terdakwa.
Berbeda halnya dengan teori pengetahuan yang tidak mencari kausalitas antara motif, perbuatan dan tujuannya. Proses ini hanya berhubungan dengan unsur-unsur dari perbuatan yang telah dilakukan. Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah terdakwa mengetahui, menginsyafi, atau mengerti perbuatan yang dilakukannya maupun akibat dan keadaan yang menyertainya.[29]
Dalam perkembangannya, kesengajaan tidak lagi didasari pada faktor kehendak dan pengetahuan. Menurut Chairul Huda, kesengajaan dapat terjadi, jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara salah. Dalam hal ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang tertuju pada suatu tindak pidana.[30] Kehendak (keinginan) dan pengetahuannya telah mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu, yang ternyata suatu tindak pidana.[31] Hal tersebut menjadikan kesengajaan tidak lagi bertumupu pada kehendak atau pengetahuan pelaku, melainkan telah bergeser pada pikiran pelaku. Pikiran tersebut merupakan proses menuju pada suatu tindakan. Oleh karena itu, isi kesalahan ditentukan oleh penggunaan pikiran pembuat yang diarahkan pada terjadinya tindak pidana.[32] Dengan demikian, sesorang telah menggunakan pikirannya secara salah, sehingga dilakukannya tindak pidana secara sengaja. Dengan kata lain dikatakan seseorang dengan sengaja melakukan tindak pidana karena pada pikirannya telah mengarahkan perbuatannya pada melakukan tindak pidana.
Dalam kepustakaan pada umumnya diakui ada tiga corak kesengajaan, yaitu 1. Kesengajaan sebagai maksud; 2. Kesengajaan sebagai keharusan; dan 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan. Dalam kesengajaan sebagai maksud perbuatan itu disengaja karena memang dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan. Corak kesengajaan sebagai keharusan ada, apabila perbuatan yang dilakukan itu bukanlah yang dimaksud, tetapi untuk mencapai yang dimaksud itu harus melakukan perbuatan itu pula. Dalam kesengajaan sebagai kemungkinan perbuatan pidana itu tidaklah terpaksa dilakukan, tetapi hanya suatu kemungkinan saja. Kalau orang melakukan perbuatan yang dimaksud dengan tidak takut akan kemungkinan dilakukannya pula suatu perbuatan pidana, maka dikatakan perbuatan pidana itu dilakukan dengan kesengajaan sebagai kemungkinan.[33]
Ketiga corak tersebut di atas, oleh Chairul Huda mengenai kesengajaan karena maksud harus dikeluarkan dari corak kesengajaan. Hal tersebut dijelaskan karena maksud adalah sikap yang lain dari kesengajaan, sehingga harus dikeluarkan dari corak kesengajaan.[34] Oleh karena itu kesengajaan hanya dibedakan ke dalam dua corak, yaitu kesengajaan karena kepastian dan kesengajaan karena kemungkinan. Pada kesengajaan karena keharusan dapat terjadi apabila tujuan yang hendak dicapai pembuat hanya dapat terwujud dengan melakukan perbuatan tersebut. Kesengajaan karena kemungkinan dapat ditentukan, baik jika pembuat mengetahui bahwa perbuatannya juga mempunyai jangkauan untuk dalam keadaan-keadaan tertentu akan terjadi suatu akibat, ataupun pembuat berfikir ‘apa boleh buat’ untuk mencapai tujuan tertentu dia melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.[35]
Bentuk kesalahan selanjutnya yaitu kealpaan. Dengan mengatakan kealpaan adalah suatu bentuk kesalahan, maka dikatakan pula bahwa sikap batin yang demikian itu adalah berwarna. Sebagaimana telah disebut di atas, bahwa kelapaan lebih ringan dari pada kesengajaan. Artinya bahwa tingkat kesalahan pada kealpaan berada di bawah kesengajaan. Jika kesengajaan adalah kesediaan yang disadari untuk memperkosa suatu objek yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kelapaan adalah kekurangan pengertian terhadap objek itu dengan tidak disadari. Oleh karenanya Roeslan Saleh memberikan corak dari kealpaan, yaitu:
1. Tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum;
2. Tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. [36]
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang  menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidakhati-hatian itu sendiri, perbedaan antara  keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu  menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.[37]
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:[38]
1.      Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak  akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah pikir/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak  pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya
2.      Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.
Pada umumnya, kealpaan (culpa) dibedakan atas :
1.      Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, sipelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, akan tetapi timbul juga akibat tersebut.
2.      Kealpaan tanpa kesadaran (onbewestu schuld). Dalam hal ini, sipelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia  seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat
4.  Tidak Adanya Alasan Pemaaf
Dalam proses penjatuhan pidana kepada seorang yang telah nyata melakukan tindak pidana, selain adanya kemampuan bertanggungjawab dan dengan kesengajaan atau kealpaan, juga harus nyata pada dirinya tidak ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa.[39] Jika pengertian alasan pemaaf diartikan demikian, alasan pemaaf hanya menghilangkan kesalahan pada diri terdakwa yang mengakibatkan terdakwa tidak dipidana. Karena prinsipnya tiada pidana tanpa kesalahan. Meskipun sebab tidak dapat dipidanya seorang terdakwa tidak hanya karena sebab adanya alasan pemaaf, tetapi juga karena adanya alasan pembenar. Alasan pembenar merupakan alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana.
Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Menurut Chairul Huda, adanya alasan pembenar berujung pada “pembenaran” atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada “pemaafan” pembuatnya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melwan hukum.[40]
Penghapusan kesalahan pada alasan pemaaf bukan berarti meniadakan kesengajaan atau kealpaan pada diri sesorang. Kesengajaan atau kealpaan tetap dimiliki oleh seseorang tersebut. Bahkan perbuatannya telah memenuhi unsur tindak pidana dan memilki sifat melawan hukum. Namun persolannya, tindakan yang dilakukan karena ada dorongan dari pihak eksternal sehingga seorang tersebut melakukan tindak pidana. Berbeda halnya dengan kesengajaan ataupun kealpaan yang muncul dari dalam diri terdakwa. Dalam hal tindak pidana dilakukan dengan sengaja, maka pada dasarnya pembuat menghendaki dan mengetahui tentang tindak pidana yang dilakukannya. Sementara itu, pembuat tidak dapat berbuat lain karena sesuatu yang bersumber dari luar dirinya. Pikiran yang melatar belakangi dilakukannya tindak pidana, bukan diinspirasi oleh kehendak (dan pengetahuan) yang bebas. Dengan kata lain, pembuat tidak memiliki “free will” untuk melakukan tindak pidana tersebut, sehingga sifatnya menjadi “involuntary”. Hal ini disebabkan oleh kondisi pada waktu pembuat melakukan tindak pidana ternyata tidak dalam keadaan normal.[41]
Keadaan normal dapat dijadikan sebagai pembeda dalam menentukan ada atau tidaknya alasan pemaaf. Jika pada saat dilakukannya tindak pidana kondisi pelaku dalam keadaan normal, maka ada masa untuk diri pelaku menentukan kehendaknya untuk melakukan sesuatu. Hal yang demikian tentu tidak dikatakan telah ada alasan pemaaf. Namun sebaliknya jika pada kondisi seorang terdakwa tidak dapat menentukan kehendanya secara bebas, artinya adanya dorongan atau paksaan dari luar yang menyebabkan dilakukannya tindak pidana, maka hal yang demikian dapat dikatakan telah ada alasan pemaaf. Menurut Roeslan Saleh, karena adanya tekanan dari luar, maka fungsi bathin dari pada terdakwa tidak normal. Dalam hal ini kita mengahadapi alasan pemaaf.[42] Dalam hukum positif Indonesia, alasan pemaaf diatur dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dan Pasal 51 ayat (2) perintah jabatan tanpa wewenang.


[1] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, edisi pertama, cetakan keempat (Jakarta: Prenada Media Group, 2011)
[2] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, cetakan ketiga, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hlm. 54.
[3] Chairul huda, op.cit, hlm. 66.
[4] Roscoe Pound, An Introdaction to the philosophy of law, Yale University Press, 1975, p. 74, dalam Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hlm. 79
[5] Ibid, hlm. 80.
[6] Ibid.
[7] Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, cetakan pertama, (Jakarta: Ghalia Indo, 1983), hlm. 33.
[8] Ibid.
[9] Roeslan Saleh, Masih Saja tentang Kesalahan, cetakan pertama, (CV. Karya Dunia Fikir, 1994), hlm. 57-58.
[10] Chairul Huda, op.cit, hlm. 17.
[11] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 79.
[12] Chairul Huda, op.cit, hlm. 102.
[13] Ibid, hlm. 101.
[14] Ibid, hlm. 103.
[15] Ibid, hlm. 118.
[16] Ibid, hlm. 119.
[17] Moeljatno, op.cit, hlm. 54.
[18] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana . . . . , op.cit, hlm. IX.
[19] Chairul Huda, op.cit, hlm. 29-30.
[20] Ibid, hlm. 80.
[21] Ibid, hlm. 80-81.
[22] Ibid, hlm. 79.
[23] Ibid, 109.
[24] Ibid, 110.
[25] Johny Krisnan, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional” (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang 2008)
[26] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana . . . . , op.cit, hlm. 98.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm. 99
[29] Ibid, hlm. 99-100
[30] Chairul Huda, op.cit, hlm. 107.
[31] Ibid, hlm. 105.
[32] Ibid.
[33] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana . . . . , op.cit, hlm. 115.
[34] Chairul Huda, op.cit, hlm. 110.
[35] Ibid, hlm. 110-111.
[36] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana . . . . , op.cit, hlm. 120.
[37] Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1993), hlm. 48.
[38] Ibid, hlm. 49.
[39] Ibid, hlm. 125
[40] Chairul Huda, op.cit, hlm. 124.
[41] Ibid, hlm. 123
[42] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana . . . . , op.cit, hlm. 130.

Comments

  1. Lucky Club Casino Site – Play Slots for real money
    The Lucky Club casino site is not only one of the best online casino sites you can find, they have a great selection of casino games and a luckyclub.live wide variety of

    ReplyDelete
  2. Mr. B. Iyer - MGM - DrmCD
    The M&M Experience & Award Winning Entertainment Awards 2021. 춘천 출장샵 Discover who is the 충청남도 출장안마 best performer in 통영 출장마사지 MGM and 화성 출장마사지 why Mr. B. 인천광역 출장마사지 Iyer has become such an award winning

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PROSEDUR PENEGAKAN HUKUM PIDANA MELALUI SENTRA GAKKUMDU PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan Umum merupakan implementasi dari prinsip demokrasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan secara langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di wilayah masing-masing. Pelaksanaan tersebut meliputi persiapan, pelaksanaan, serta partisipasi masyarakat dalam  Pemilihan Umum. Tentu kesuksesan dalam melaksanakan rangkaian tahapan tersebut menjadi indikator dari kesuksesan dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum kali ini dilakukan secara serentak untuk beberapa wilayah di Indonesia, yang meliputi Pemilihan Umum untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahu

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN

a.       Mereka yang Melakukan (Pleger) Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku ( plager ) bukan seorang yang turut serta (deelnemer) , kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak - pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku ( dader ), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku ( pleger ) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka. [1] Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang - undang. Dengan kata lain seseorang dap