Skip to main content

HAKIKAT AJARAN PENYERTAAN

Awal adanya ketentuan tindak pidana bertujuan untuk menghukum seorang yang dengan kelakuannya memiliki sifat jahat. Dengan kata lain dengan kelakuannya tersebut mencederai hak-hak orang lain. Hukum pidana sebagai upaya akhir (ultimum remedium) dalam menanggulangi keresahan pada masyarakat, memberikan upaya pembenahan pada diri pelaku dengan menjatuhkan nestapa/pidana kepadanya. Penjatuhan pidana tersebut tidak serta merta dijatuhkan kepada pelaku tersebut, sebagai akibat dari tindakannya tersebut.

Penjatuhan pidana kepada pelaku terlebih dahulu telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pidana yang menyatakan bahwa suatu tindakan merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dengan kata lain, tindakan tersebut adalah tindak pidana. Tindak pidana menurut Moeljatno dengan menggunakan istilah perbuatan pidana, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.[1] Penjatuhan pidana tersebut dilakukan oleh negara sebagai wakil dari korban tindak pidana, dengan melalui tahapan-tahapan yang diatur dalam hukum acara pidana.

Penjatuhan pidana kepada seseorang, terlebih dahulu memang seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang oleh perundang-undangan sebagai tindak pidana. Hal tersebut berdasarkan asas legalitas yang terumuskan dalam Pasal 1 KUHP, yaitu tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Dalam bahasa latin disebut “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Ketentuan tersebut mengenai aturan perbuatan mana yang dilarang oleh perundang-undangan. Dalam hal ini Chairul Huda berpendapat:
“mulanya memang tidak dimaksudkan untuk melindungi negara dan masyarakat dari kejahatan atau pelaku kejahatan, baik yang telah nyata maupun berpotensi. Perspektifnya tidak positif, justru negatif, yaitu bukan negara yang berada dalam keadaan terancam dengan adanya berbagai tindak pidana, tetapi justru sebaliknya para potential offender atau offender itu sendiri yang jika perbuatannya tidak dinyatakan dilarang dan diancam pidana akan mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari penguasa/negara ataupun tindak “main hakim sendiri” dari masyarakat”.[2]

Ketentuan rumusan pasal pada undang-undang hukum pidana yang menunjuk pada satu orang pelaku menimbulkan pada orang yang terlibat dalam tindak pidana, tetapi tidak memenuhi unsur tindak pidana tidak dipidana. Karena dapat dipidanya seseorang terlebih dahulu adakah tindak pidana yang telah dilakukan olehnya sebelumnya. Oleh karena itu kehadiran ajaran penyertaan yang mulai muncul pada abad XVIII di saat masyarakat pada saat itu menghendaki ditentukannya batas yang tajam antara perbuatan yang tercela yang perbuatannya dapat dipidana dan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan kriminal. Oleh karena itu berkat pengaruh asas legalitas yang digagas oleh Von Feuerbuch dengan istilah Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, yang kemudian dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHPidana. Berkat ajaran Boehmer, kriminalis pada abad 18, maka ditetapkanlah dua kelompok peserta (deelnemers) suatu delik sebagai berikut:
a.       Mereka, yaitu melaksanakan kejahatan, yang hasilnya memang diinginkannya (auctores, Uhrherber); mereka disebut causa physica delik;
b.       Mereka, yang hanya hendak membantu auctores, yaitu peserta yang tidak langsung, disebut Gehilfe, yang meliputi selain pembantu juga pemancing atau penganjur (uitlokkers); mereka itu adalah causa moralis delik.[3]

Hal tersebut menjadi langkah awal dalam upaya memberikan pidana kepada orang yang terlibat dalam tindak pidana, namun tidak memenuhi unsur tindak pidana. Oleh karena itu dalam Kitab Undang-udang Hukum Pidana Indonesia yang merupakan warisan Belanda, menganut ajaran penyertaan yang dirumuskan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Dengan demikian pengaruh asas legalitas yang berfungsi sebagai pemisah antara perbuatan yang dilarang dan diancam pidana dengan perbuatan yang dibolehkan, sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadi kesewenangan dari negara yang menjatuhkan pidana sedikit teratasi dengan ajaran penyertaan.



[1] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 54.
[2] Chairul Huda, Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Tinjauan kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Edisi Pertama, cetakan keempat (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 17.
[3] A.Z. Abidin dan A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Delik, dan hukum Penetensier, cetakan pertama, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002), hlm. 132.

Comments

  1. Sega Genesis - Video Dodl
    Find great งานออนไลน์ deals on Sega Genesis videodl - Sega Genesis Video Games on Video Dodl - CVC Video Game Marketplace! Save on a huge selection of Video Game youtube downloader Video Cute: 2 1 votes

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN

a.       Mereka yang Melakukan (Pleger) Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku ( plager ) bukan seorang yang turut serta (deelnemer) , kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak - pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku ( dader ), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku ( pleger ) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka. [1] Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang - undang. Dengan kata lain seseorang dap

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (STRAFTRECHTERLIJKE TOEREKENING) DALAM AJARAN DUALISTIS

Kajian dalam hukum pidana memang tidak dapat terlepas dari tiga kajian pokok, yaitu tindak pidana (criminal act) , pertanggungjawaban pidana (criminal liability) , dan pidana (punishment) . [1] Ketiga pokok persoalan tersebut di atas diperlukan kajian yang berbeda dalam ilmu hukum pidana. Persoalan pertanggungjawaban pidana tidak termasuk dalam pembahasan tindak pidana. Pembahasan pertanggungjawaban pidana seharusnya dilihat dari luar pembahasan tindak pidana. Pembahsan dalam tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana bagi barang siapa yang dengan kelakuannya melakukan tindak pidana. [2] oleh karena itu, pada tindak pidana hanya diatur sebatas padda unsur objektif, atau unsur-unsur pada perbuatan. Pertanggungjawaban pidana merupakan proses penentu seorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Karena jika seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana. Sesuai dengan ajaran dualistis, yakni

PROSEDUR PENEGAKAN HUKUM PIDANA MELALUI SENTRA GAKKUMDU PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan Umum merupakan implementasi dari prinsip demokrasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan secara langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di wilayah masing-masing. Pelaksanaan tersebut meliputi persiapan, pelaksanaan, serta partisipasi masyarakat dalam  Pemilihan Umum. Tentu kesuksesan dalam melaksanakan rangkaian tahapan tersebut menjadi indikator dari kesuksesan dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum kali ini dilakukan secara serentak untuk beberapa wilayah di Indonesia, yang meliputi Pemilihan Umum untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahu