Skip to main content

PENGERTIAN PENYERTAAN TINDAK PIDANA

Dalam kamus bahasa Indonesia-Belanda, Belanda-Indonesia, istilah “deelneming” diartikan “penyertaan” dan “deelnemen” diartikan dengan “menyertai” sedang deelnemer” diartikan dengan “peserta”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata “serta” diartikan dengan “ikut serta”. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “complicity” yang diartikan dengan keterlibatan. Dengan demikian “deelneming” dapat diartikan sebagai ikut/turut melakukan. Jika tindak pidana dilaksanakan seorang diri, tetapi jika dilakukan dua orang, sedang satu orang tidak dapat dipertanggungjawabkan maka si pelaku tetap disebut “allen dader”.[1]

Beberapa sarjana memberikan arti “deelneming” dengan mengartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Utrecht mengartikan istilah “deelneming” dengan “turut serta”,[2] Tresna mengartikan sebagai “turut campur”,[3] P.A.F. Lamintang menerjemahkan dengan istilah “keikut sertaan”,[4] Wirjono Prodjodikoro mengartikan sebagai “pesertaan”,[5] selain itu juga oleh beberapa serjana lainnya yang mengartikan dengan istilah yang sama “penyertaan”, di antaranya, Moeljatno,[6] Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah.[7] Dari beberapa penerjemahan dari beberapa ahli tersebut, penulis bercondong kepada istilah “penyertaan”, dengan mengikuti pendapat Ramelan, yaitu istilah penyertaan lebih banyak digunakan oleh sebagian besar ahli hukum pidana, istilah penyertaan mengandung pengertian proses cara perbuatan menyertai atau menyertakan.[8]

Menurut Kanter dan Sianturi, istilah penyertaan adalah dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan lain perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.[9] Pengertian tersebut tidak secara sempurna dapat memberikan pemahaman mengenai inti dari penyertaan. Apakah dalam penyertaan diharuskan ada kehendak yang sama, atau telah ada dan nyata peran masing-masing pelaku peserta, maka hal tersebut setidaknya harus dapat dijawab sehingga dapat dilihat sebagai penyertaan.

Menurut Satochid kartanegara,[10] penyertaan pada suatu tindak pidana apabila tersangkut beberapa orang atau lebih yang memiliki hubungan antara tiap pelaku dengan tindak pidana yang terjadi. Hubungan tersebut dapat berbentuk berupa beberapa orang bersama-sama melakukan satu delik, mungkin hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan merencanakan delik, akan tetapi delik tersebut tidak dilakukan sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan tersebut dan dapat juga terjadi bahwa seorang saja yang melakukan delik, sedang orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik.

Penjelasan Satochid Kartanegara di atas dapat disimpulkan bahwa dapat dikatakan sebagai penyertaan jika satu tindak pidana yang sama dilakukan oleh beberapa orang, adanya kehendak yang meskipun hanya terdapat pada satu orang dari beberpa pelaku, dan kerja sama saat dilakukannya tindak pidana.

Selain yang telah disebutkan di atas, Moeljatno menambahkan bahwa tidak cukup dinamakan sebagai penyertaan jika hanya sebatas pada dilakukannya tindak pidana oleh beberapa orang atau peserta, tetapi juga peserta atau beberapa orang yang melakukan tindak pidana masuk dalam pengertian Pasal 55 dan 56 KUHP.[11] Hal tersebut menunjukkan bahwa penyertaan memiliki bentuk yang berbeda dengan tindak pidana lain. Pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menentukan bentuk-bentuk penyertaan, yaitu mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh melakukan, dan mereka yang turut serta melakukan. Selanjutnya pada Pasal 55 ayat (1) ke-2 menentukan bentuk penyertaan berupa mereka yang menganjurkan orang lain supaya melakukan, dengan ketentuan tindakan tersebut dilakukan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Selain itu, pada Pasal 56 ayat (1 dan 2) KUHP juga menentukan bentuk penyertaan berupa pembantuan, yang dilakukan dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Pada pengertian tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang tidak hanya disebut sebagai penyertaan. Hal yang demikian dapat juga dikenal sebagai tindak pidana yang dilakukan secara miassal (collective crime). Menurut Septa Candra, pengertian tindak pidana yang dilakukan secara massal (collective crime) dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum yang berlaku disertai ancaman sanksi bagi pelanggarnya yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh sekumpulan orang banyak atau lebih dari satu orang dimana jumlahnya tanpa batas.[12]

Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan secara massal tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang diri. Pada tindak pidana yang dilakukan secara massal hanya sebatas ketentuan tindak pidana terhadap pengancaman pidana bagi pelaku tindak pidana yang dilakukan secara kolektif. Dengan demikian tindak pidana secara massal memiliki kesamaan dengan tindak pidana yang dilakukan seorang diri, hanya saja yang membedakan adalah subjek dari perbuatan tersebut yang jumlahnya lebih banyak atau lebih dari satu orang.[13] Oleh karena itu pada penyertaan tindak pidana dan tindak pidana yang dilakukan secara massal terdapat perbedaan pada, bahwa pada penyertaan tindak pidana dikenal dengan bentuk-bentuk pembuat tindak pidana, sebagaimana yang diatur pada Pasal 55 dan 56 KUHP, sedangkan tindak pidana yang dilakukan secara massal tidak mengenal demikian, hanya saja seluruh orang yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana atau yang melakukan rumusan pasal tersebut. Dengan kata lain bahwa tindak pidana yang dilakukan secara massal (collective crime) dalam KUHP merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, yang diatur dalam Pasal 170 KUHP, berupa melarang barang siapa yang dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana paling lama enam bulan. Namun apabila pelaku atas perbuatannya tersebut menyebabkan luka-luka pada orang lain diancam pidana paling lama tujuh tahun, sedangkan jika menyebabkan luka berat diancam pidana paling lama sembilan tahun. Selanjutnya juga jika pelaku tersebut atas perbuatannya mengakibatkan maut atau hilangnya nyawa seseorang, maka diancam pidana paling lama dua belas tahun.

Dalam kajian hukum pidana islam, ajaran penyertaan juga dibahas sebagai bentuk terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang. Dalam hal ini, menurut Topo Santoso, para Fuqaha membedakan penyertaan ini dalam dua bagian, yaitu turut berbuat langsung (istisyrak-mubasyir), orang yang melakukannya disebut syarik mubasyir dan turut berbuat tidak langsung (istisyrak ghairul mubasyir/ istisyrak bit-tasabbubi), orang yang melakukannya disebut syarik mutasabbib.[14] Dalam hukum positif Indonesia katagori istisyrak mubasyir berupa turut serta dan pembantuan, sedangkan katagori istisyrak ghairu mubasyir berupa penyuruhan dan penganjuran.

Dengan demikian penyertaan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki peranan yang berbeda satu sama lain, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 55 dan 56 KUHP. Sehingga di luar dari kelima jenis peserta ini (yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP) menurut sistem KUHP tidak ada peserta lain yang dapat dipidana.



[1] Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat dihukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hlm. 93.
[2] E. Utrecht, Rangkaian Sari Mata Kuliah Hukum Pidana II, cetakan ketiga, (Bandung: PT. Penerbitan Unieversitas, 1965), hlm. 5.
[3] R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959), hlm. 82.
[4] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 583.
[5] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), hlm. 108.
[6] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1993), hlm. 10.
[7] Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Perobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penetensier, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002), hlm. 131.
[8] Ramelan, Perluasan Ajaran Turut Serta dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Transnasional, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan, 2009), hlm. 124.
[9] S.R. Sianturi dan E.Y. Kanter, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 338.
[10] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian Dua, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 497.
[11] Moeljatno, Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, cetakan kedua, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hlm. 63.
[12] Septa Candra, Pertanggungjawaban Pidana Individual terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan secara Massal (Collective Crime), Tesis, (Program Megister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2012), hlm. 55.
[13] Ibid, hlm. 70.
[14]Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas, (Bandung: Asy-Syaamil Press  dan Grafika, 2001), hlm.  154.  

Comments

Popular posts from this blog

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN

a.       Mereka yang Melakukan (Pleger) Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku ( plager ) bukan seorang yang turut serta (deelnemer) , kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak - pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku ( dader ), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku ( pleger ) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka. [1] Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang - undang. Dengan kata lain seseorang dap

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (STRAFTRECHTERLIJKE TOEREKENING) DALAM AJARAN DUALISTIS

Kajian dalam hukum pidana memang tidak dapat terlepas dari tiga kajian pokok, yaitu tindak pidana (criminal act) , pertanggungjawaban pidana (criminal liability) , dan pidana (punishment) . [1] Ketiga pokok persoalan tersebut di atas diperlukan kajian yang berbeda dalam ilmu hukum pidana. Persoalan pertanggungjawaban pidana tidak termasuk dalam pembahasan tindak pidana. Pembahasan pertanggungjawaban pidana seharusnya dilihat dari luar pembahasan tindak pidana. Pembahsan dalam tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana bagi barang siapa yang dengan kelakuannya melakukan tindak pidana. [2] oleh karena itu, pada tindak pidana hanya diatur sebatas padda unsur objektif, atau unsur-unsur pada perbuatan. Pertanggungjawaban pidana merupakan proses penentu seorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Karena jika seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana. Sesuai dengan ajaran dualistis, yakni

PROSEDUR PENEGAKAN HUKUM PIDANA MELALUI SENTRA GAKKUMDU PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan Umum merupakan implementasi dari prinsip demokrasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan secara langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di wilayah masing-masing. Pelaksanaan tersebut meliputi persiapan, pelaksanaan, serta partisipasi masyarakat dalam  Pemilihan Umum. Tentu kesuksesan dalam melaksanakan rangkaian tahapan tersebut menjadi indikator dari kesuksesan dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum kali ini dilakukan secara serentak untuk beberapa wilayah di Indonesia, yang meliputi Pemilihan Umum untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahu