Skip to main content

PERAN HAKIM DALAM PERADILAN DI NEGARA CIVIL LAW SYSTEM

Perkembangan hukum memang tidak dapat terlepas dari peristiwa sosial masyatakat. Dunia kemasyarakatan yang begitu kompleks memaksakan hukum untuk melakukan hal yang dapat menggapai peristiwa tersebut. Bahkan tidak jarang untuk menjangkau peristiwa tertentu, hukum dibenturkan dengan prinsip kepastian hukum. Artinya bahwa hukum yang dikenal dalam civil law system sebagai bentuk peraturan tertulis yang disahkan oleh pejabat berwenang, kini tidak mempertimbangkan hal demikian. Hal yang terpenting bahwa peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat harus tergapai oleh hukum. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu terobosan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim dalam memandang dan memberi penilaian atas peristiwa yang terjadi dengan masyarakat. Terobosan tersebut tentu dilakukan dengan tidak menyimpang dengan kaedah dan prinsip hukum. Salah satu cara untuk melakukan terobosan hukum yaitu melalui interpretasi hukum. Interpretasi hukum merupakan cara untuk menggali lebih dalam mengenai makna hukum yang tertulis dengan melihat dari segi istilah kata, sejarah, sosial, dan lain sebagainya.

Keberanian seorang hakim dalam melakukan terobosan hukum melalui interpretasi memang menjadi tantangan tersendiri. Bahkan, tidak jarang menjadikan penilaian terhadap hakim tersebut menjadi buruk. Pada contohnya putusan pengadilan negeri medan yang memutus perkara seorang pria yang didakwa melakukan persetubuhan dengan wanita lain dengan pasal penipuan. Dalam putusannya majelis hakim yang saat itu diketuai oleh Bismar Siregar menilai bahwa perbuatan terdakwa adalah perbuatan penipuan karena perbuatan persetubuhan tersebut diawali dengan janji-janji dari pria tersebut. Namun ternyata janji tersebut tidak terwujud, sedangkan keperawanan wanita tersebut telah hilang. Dengan kata lain bahwa pria tersebut telah mendapatkan keuntungan, yaitu berupa menikmati keperawanan wanita tersebut, sedangkan wanita tersebut mengalami kerugian dengan hilangnya keperawannya. Namun putusan tersebut dianggap melanggar prinsip hukum karena menilai bahwa barang yang dimaksud dalam pasal penipuan termasuk juga di dalamnya keperawanan wanita. Dengan kata lain keperawanan wanita disamakan dengan barang-barang yang lainnya. Hal tersebut tentu merupakan terobosan hukum yang kontroversial saat itu dan dalam doktrin ilmu hukum.

Peran hakim memang sangat penting dalam proses penegakan hukum. Hakim sebagai pihak yang menentukan nasib seorang, baik dinyatakan bersalah atau tidak. Dasar pertimbangan hakim menjadi sorotan masyarakat dalam memutus suatu perkara hukum. Prinsip kepastian hukum yang menjadi corak negara civil law system menjadikan hal yang utama, selain adanya prinsip keadilan dan kemnfaatan. Pertimbangan hakim harus didasari aturan hukum tertulis, dan dituntut untuk menggali lebih dalam makna yang terkandung dalam aturan tertulis tersebut. Sehingga sering kali putusan hakim dirasakan oleh sebagian masyarakat tidak memberikan rasa keadilan. Padahal hakim sebagai representasi pengadilan merupakan wadah para pencari keadilan.

Berbagai macam permasalahan yang muncul di tengah masyarakat menjadi permasalahan tersendiri, baik dalam kajian ilmu hukum maupun dalam praktek hukum. Perkembangan dunia kemasyarakatan melaju sangat cepat dari pada pengaturan hukum. Bagi Negara civil law system, hal tersebut tentu menjadi kendala karena Negara melalui lembaganya harus selalu berdasar pada aturan tertulis dalam segala bentuk tindakannya. Hal tersebut dalam rangka menjaga hak asasi manusia bagi warga Negara. Sebagaimana dalam ilmu hukum pidana yang dikenal dengan asas legalitas, yaitu tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut sebelumnya. Keberadaan asas legalitas ditujukan untuk dua hal, yaitu pertama menjadi batasan negara dalam melakukan tindakan terhadap warga negaranya yang melanggar aturan hukum, dan kedua menjadi pedoman masyarakat dalam bertindak, sehingga mengetahi perbuatan mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu munculnya legalitas suatu peraturan perundang-undangan ditujukan bukan karena negara dalam keadaan bahaya dengan perbuatan warga negaranya, tetapi sebaliknya bahwa warga negara akan terancam dari kesewenang-wenangan negara tanpa adanya aturan perundang-undangan.

Pada Negara civil law system hakim difungsikan sebagai pemberi tafsiran hukum tertulis pada kasus konkrit. Aturan perundang-undangan hanya sebatas pada aturan tertulis yang mendeskripsikan secara normatif suatu perbuatan. Peraturan perundang-undangan hanya membahas suatu perbuatan secara umum dan tidak ditentukan dengan adanya sebuah kejadian. Sebagai contoh bahwa pasal tentang penipuan tetap sebagai tindak pidana, sekali pun tidak ada satu pun manusia yang melanggarnya. Oleh karena itu terdapa tdoktrin bahwa adanya tindak pidana karena pembentuk peraturan perundang-undangan menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, bukan ditentukan karena adanya seorang yang melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu hakim sebisa mungkin menerapkan aturan hukum yang secara umum tersebut lalu dikonkritisasi pada kasus tertentu.

Comments

Popular posts from this blog

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN

a.       Mereka yang Melakukan (Pleger) Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku ( plager ) bukan seorang yang turut serta (deelnemer) , kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak - pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku ( dader ), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku ( pleger ) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka. [1] Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang - undang. Dengan kata lain seseorang dap

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (STRAFTRECHTERLIJKE TOEREKENING) DALAM AJARAN DUALISTIS

Kajian dalam hukum pidana memang tidak dapat terlepas dari tiga kajian pokok, yaitu tindak pidana (criminal act) , pertanggungjawaban pidana (criminal liability) , dan pidana (punishment) . [1] Ketiga pokok persoalan tersebut di atas diperlukan kajian yang berbeda dalam ilmu hukum pidana. Persoalan pertanggungjawaban pidana tidak termasuk dalam pembahasan tindak pidana. Pembahasan pertanggungjawaban pidana seharusnya dilihat dari luar pembahasan tindak pidana. Pembahsan dalam tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana bagi barang siapa yang dengan kelakuannya melakukan tindak pidana. [2] oleh karena itu, pada tindak pidana hanya diatur sebatas padda unsur objektif, atau unsur-unsur pada perbuatan. Pertanggungjawaban pidana merupakan proses penentu seorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Karena jika seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana. Sesuai dengan ajaran dualistis, yakni

PROSEDUR PENEGAKAN HUKUM PIDANA MELALUI SENTRA GAKKUMDU PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan Umum merupakan implementasi dari prinsip demokrasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan secara langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di wilayah masing-masing. Pelaksanaan tersebut meliputi persiapan, pelaksanaan, serta partisipasi masyarakat dalam  Pemilihan Umum. Tentu kesuksesan dalam melaksanakan rangkaian tahapan tersebut menjadi indikator dari kesuksesan dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum kali ini dilakukan secara serentak untuk beberapa wilayah di Indonesia, yang meliputi Pemilihan Umum untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahu