Skip to main content

KARAKTERISTIK PENYERTAAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA

Pada umumnya pembuat undang-undang merumuskan aturan pada tiap pasal menunjuk pada satu orang yang melakukan tindak pidana. Ketika dalam suatu pasal, misalnya disebutkan “barang siapa dengan sengaja”, maka barang siapa tersebut diartikan sebagai subjek hukum pidana (manusia atau korporasi) yang terdiri dari satu orang. Yang menentukan bahwa subjek hukum pidana tersebut sebagai yang melakukan tindak pidana, karena pada perbuatannya tersebut memenuhi unsur dari rumusan tindak pidana. Sebagaimana menurut Wirjono Projodikoro, membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) orang berkesimpulan, bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman-pidana.[1] Namun dalam praktek, terdapat tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal yang demikian dikenal dengan penyertaan. Artinya bahwa dalam satu jenis tindak pidana yang sama dilakukan oleh beberapa orang yang berjumlah lebih dari satu.

Menurut Chairul Huda, umumnya suatu tindak pidana dirumuskan untuk pembuat tunggal, hanya beberapa diantaranya yang dirancang untuk menjangkau peristiwa yang melibatkan banyak orang. Untuk memperluas jangkauan rumusan undang-undang tentang suatu delik yang di-design untuk pembuat tunggal tersebut, dibuat ketentuan tentang “penyertaan” (deelneming).[2] Menurut penulis, jangkauan rumusan undang-undang yang dimaksud tersebut adalah keberadaan Pasal 55 dan 56 KUHP. Dengan demikian, keterlibatan beberapa orang, salah satu dari beberapa orang tersebut memiliki kehendak untuk mewujudkan tindak pidana, adanya kerja sama saat terjadinya tindak pidana, serta memenuhi katagori yang dimaksudkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, maka dinamakan sebagai penyertaan.

Dalam kaitannya dengan tindak pidana tertentu, ajaran penyertaan memberikan ruang untuk penegak hukum dalam memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana yang dilakukan oleh peserta tindak pidana. Peserta tersebut berupa mereka yang melakukan (pelaku), mereka yang menyuruh melakukan (penyuruh), dan mereka yang turut serta melakukan (pelaku turut serta), mereka yang menganjurkan orang lain supaya melakukan (penganjur), dengan ketentuan tindakan tersebut dilakukan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, dan pembantuan, yang dilakukan dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan (pembantu).

Dalam penyertaan adakalanya keterlibatan peserta terjadi "sebelum  dilakukan" tindak pidana atau "saat  dilakukan" tindak pidana. Untuk katagori yang pertama berupa menyuruh melakukan dan menganjurkan orang lain untuk melakukan, sedangkan “saat tindak pidana dilakukan” berupa turut serta melakukan dan pembantuan. Berbeda dengan common law system, khususnya di Inggris bahwa bentuk penyertaan digolongkan menjadi dua, yaitu principal dan accessory.[3] Menurut Cross dan Jones, dalam bukunya Introduction to Criminal Law disebutkan[4] pembagian tersebut berupa:
a.         Article 23: “A principal in the first degree is a person who commits a felony either directly or through an innocent agent, a principal in the second degree is a person who does not commit a felony himself, but present at the time when the felony is committed and assist the principal in the first degree”. (pelaku pada tingkat pertama adalah orang yang melakukan tindak pidana, baik secara langsung atau melalui orang lain yang tidak bersalah. Seorang pelaku pada tingkat kedua adalah orang yang melakukan kejahatan sendiri, tetapi tidak hadir pada saat kejahatan dilakukan dan membantu pelaku pada tingkat pertama.
b.         Article 24: “An accessory before the fact is one who is absent at time when a felony is committed but procures, counsels, commands or abets another to commit it”. (aksesori sebelum dilakukannya tindak pidana adalah seseorang yang tidak hadir pada saat tindak pidana dilakukan tetapi memberikan pengadaan, nasihat, perintah atau persengkongkolan lain untuk melakukan itu (tindak pidana). An accessory after the fact is one who after the commission of a felony and with knowledge that the felon has commited it, receives, relieves, comforts or assists the felon”. (aksesori setelah dilakukannya tindak pidana adalah seseorang yang setelah dilakukannya kejahatan dan dengan pengetahuannya bahwa penjahat telah melakukan tindak pidana itu, menerima, mengurangi, menyembunyikan (hasil kejahatan) atau membantu penjahat.

Pada Kitab Undang Hukum Pidana Indonesia, pengaturan tentang penyertaan hanya sebatas pada menjerat pelaku peserta yang terlibat pada “sebelum dilakukan” tindak pidana dan pada “saat dilakukan” tindak pidana. Berbeda halnya di Inggris, juga mengatur bentuk penyertaan “setelah dilakukan” tindak pidana. Hanya saja dalam KUHP Indonesia, pengaturan bentuk penyertaan setelah dilakukannya tindak pidana merupakan bentuk tindak pidana sendiri yang tanpa harus dikaitkan dengan pasal penyertaan. 

Dengan demikian perluasan ajaran penyertaan dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam KUHP Indonesia hanya sebatas pada waktu “sebelum dilakukan” tindak pidana (dapat berupa menyuruh melakukan, menganjurkan orang lain untuk melakukan), dan  “saat dilakukan” tindak pidana (dapat berupa turut serta melakukan). Khusus untuk membantu melakukan memiliki dua corak, yaitu pada “sebelum dilakukan” tindak pidana (dapat berupa memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan) dan pada “saat dilakukan” tindak pidana (mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan). Namun dalam undang-undang pidana Indonesia tidak mengatur mengenai penyertaan setelah tindak pidana terjadi. Semisal melakukan penadahan barang hasil tindak pidana dan menyembunyikan seorang yang melakukan tindak pidana. Hal tersebut bukan merupakan perluasan dari tindak pidana, akan tetapi sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri, yaitu tindak pidana penadahan Pasal 480, 481 dan 482 KUHP, dan tindak pidana yang menguntungkan tersangka Pasal 221 dan 222 KUHP.




[1] Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, cetakan kedua (Jakarta-Bandung: PT. Eresco, 1979), hlm. 99.
[2] http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2015/06/menggeser-ajaran-penyertaan-untuk.html?m=1.
[3] Moeljatno,Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, cetakan kedua, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hlm. 80
[4] Ibid, hlm. 74.

Comments

Popular posts from this blog

PROSEDUR PENEGAKAN HUKUM PIDANA MELALUI SENTRA GAKKUMDU PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan Umum merupakan implementasi dari prinsip demokrasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan secara langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di wilayah masing-masing. Pelaksanaan tersebut meliputi persiapan, pelaksanaan, serta partisipasi masyarakat dalam  Pemilihan Umum. Tentu kesuksesan dalam melaksanakan rangkaian tahapan tersebut menjadi indikator dari kesuksesan dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum kali ini dilakukan secara serentak untuk beberapa wilayah di Indonesia, yang meliputi Pemilihan Umum untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahu

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (STRAFTRECHTERLIJKE TOEREKENING) DALAM AJARAN DUALISTIS

Kajian dalam hukum pidana memang tidak dapat terlepas dari tiga kajian pokok, yaitu tindak pidana (criminal act) , pertanggungjawaban pidana (criminal liability) , dan pidana (punishment) . [1] Ketiga pokok persoalan tersebut di atas diperlukan kajian yang berbeda dalam ilmu hukum pidana. Persoalan pertanggungjawaban pidana tidak termasuk dalam pembahasan tindak pidana. Pembahasan pertanggungjawaban pidana seharusnya dilihat dari luar pembahasan tindak pidana. Pembahsan dalam tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana bagi barang siapa yang dengan kelakuannya melakukan tindak pidana. [2] oleh karena itu, pada tindak pidana hanya diatur sebatas padda unsur objektif, atau unsur-unsur pada perbuatan. Pertanggungjawaban pidana merupakan proses penentu seorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Karena jika seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana. Sesuai dengan ajaran dualistis, yakni

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN

a.       Mereka yang Melakukan (Pleger) Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku ( plager ) bukan seorang yang turut serta (deelnemer) , kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak - pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku ( dader ), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku ( pleger ) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka. [1] Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang - undang. Dengan kata lain seseorang dap