a. Mereka yang Melakukan (Pleger)
Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku (plager) bukan seorang yang turut serta (deelnemer), kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak-pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku (dader), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku (pleger) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka.[1]
Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang-undang. Dengan kata lain seseorang dapat dipertanggung-jawabkan pidana jika telah melakukan tindak pidana. Seseorang yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang–undang hukum pidana disebut sebagai pelaku tindak pidana. Beberapa sarjana hukum mendefinisikan pelaku (yang melakukan) tindak pidana demikian.
Moeljatno mengemukakan yang dimaksud dengan pelaku (pleger) yaitu untuk rumusan delik yang disusun cara formal mengenai orangnya yang melakukan perbuatan tingkah laku seperti yang tercantum dalam rumusan delik. Kalau rumusan delik itu disusun secara material, maka siapa yang menimbulkan akibat seperti dalam rumusan delik, yang harus kita tentukan dengan ajaran kausal.[2] Berdasarkan pandangan tersebut, membedakan tindak pidana kedalam dua bentuk, yaitu tindak pidana yang disusun secara formal dan tindak pidana yang disusun secara material. Konsekuensi dari pembedaan tersebut berupa pemenuhan unsur tindak pidana yang menentukan seorang sebagai pelaku (pleger) tindak pidana tidak selalu harus memenuhi seluruh unsur tindak pidana, melainkan juga seorang yang menjadi penyebab timbulnya tindak pidana.
Dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar bahwa yang dimaksud dengan petindak (penulis:pelaku) adalah seorang yang melakukan suatu tindakan. Dalam rangka pembahasan hukum pidana, istilah petindak selalu dikaitkan dengan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana. Jadi, menurut ilmu hukum pidana yang dimaksud dengan petindak adalah barang siapa yang telah mewujudkan/ memenuhi semua unsur-unsur (termasuk unsur subjek) dari sesuatu tindak pidana sebagaimana unsur-unsur itu dirumuskan dalam undang-undang.[3]
b. Mereka yang Menyuruh Melakukan (Doen Pleger)
Bentuk penyertaan “menyuruh melakukan” haruslah terdiri dari lebih dari dua orang pembuat. Di satu sisi terdapat seorang yang berperan sebagai penyuruh (manus domina, onmiddelijke dader, intellectueele dader) dan di sisi lain terdapat seorang yang berperan sebagai orang yang disuruh melakukan (onmiddelijke dader, materiel dader, manus ministra) bentuk tersebut merupakan syarat terjadinya bentuk penyertaan “menyuruh melakukan”. Karena tanpa adanya pihak yang menyuruh dan juga sebaliknya jika tanpa ada pihak yang “disuruh melakukan”, maka tidak sempurna makna “menyuruh melakukan”.
Dalam bentuk penyertaan menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) peran lain. Penyuruh (manus domina, omniddelijke dader, intellectueele dader) berada dibelakang layar, sedangkan yang melakukan tindak pidana adalah seseorang lain yang disuruh itu merupakan alat ditangan penyuruh.[4] Dikatakan orang yang “disuruh melakukan” sebagai alat yang dipergunakan oleh pelaku (penyuruh) karena memang orang yang disuruh tersebut merupakan alat yang tidak dapat dipidana. Hal ini yang menjadi syarat penting dalam bentuk “menyuruh melakukan”.
Roeslan Saleh menyebutkan bahwa dalam konstruksi “menyuruh melakukan” yang pelaksanaannya bukanlah suatu alat kehendak, tetapi tidak dapat dipidana hanyalah oleh karena pada dia kualitas untuk melakukan delik (penulis:tindak pidana) tidak ada.[5] Menurut Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dapat dipidananya orang yang disuruh, karena:[6]
1) Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggungjawab.
2) a) berdasarkan Pasal 44 KUHP;
b) dalam keadaan dayapaksa Pasal 48 KUHP;
c) berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP; dan
d) orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP.
Dalam hal ini yang disuruh itu telah melakukan tindakan tersebut karena ketidaktahuan, kekeliruan (dwaling) atau paksaan sehingga padanya tiada unsur kesalahan. Penyuruh dipidana sebagai petindak, sedangkan yang disuruh tidak dipidana karena padanya tiada unsur kesalahan atau setidak-tidaknya unsur kesalahannya ditiadakan. Penyuruh mungkin hanya satu orang saja, walupun digunakan istilah mereka yang melakukan, tetapi mungkin juga lebih dari satu orang. Dapat disimpulkan bahwa penyuruh adalah merupakan petindak yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada orang lain itu tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidak-tahuannya, kekeliruannya atau dipaksa.[7]
Sebagai yang menyuruh melakukan, apakah harus memiliki kwalitas sebagaimana yang dirumuskan dalam detlik. Misalnya S adalah buruh pelabuhan yang bukan pegawai negeri. Disuruh oleh pegawai douane untuk menerima/meminta suap dari seseorang importer yang memasukan barang-barang. Dari hipotesa tersebut, selanjutnya dapatkah seseorang yang bukan pegawai negeri dianggap sebagai penindak, jika ia menyuruh seorang pegawai negeri untuk melakukan suatu tindak pidana jabatan?
Arrest HR (15 Juni 1914 W.9667) memberi jawaban bahwa kwalitas itu tidak perlu selalu ada pada diri penyuruh untuk dapat memidananya. Alasan-alasan yang diberikan antara lain ialah bahwa dalam hal penyertaan tidak selalu harus melihat hanya dari keadaan pribadi petindak tetapi juga dari segala sudut yang sudah diketahui tentang tindakan itu untuk mana kesengajaannya ditunjukan.[8]
Dalam Reispas-arrest (HR 21 April 1913, W 9501, NJ 1913, p. 961), Hoge Raad telah menempuh jalan ini. Terdakwa dalam kasus ini adalah walikota Zaandam yang menulis surat yang dialamatkan kepada Commisaris der koningin (Gubernur Provinsi Noord Holland), memohon surat jalan demi kepentingan J.M.E untuk perjalanan ke Rusia. Dalam surat tersebut ia dengan sengaja bertentangan dengan kebenaran mencantumkan umur J.M.E sebagai 21 tahun padahal baru 17 tahun sehingga Commissaris menerbitkan surat jalan ‘asli tapi palsu’ dalam hal ini Hoge Raad berpendapat bahwa hal itu mungkin. Dengan demikian bentuk hukum menyuruh melakukan telah berubah jauh dan sekarang ini dapat dirumuskan sebagai daya upaya sengaja dari A sehingga suatu tindak pidana dilakukan oleh B, sedangkan B sendiri, karena satu dan lain hal, tidak dapat dikenai pidana. Karakter khas dari bentuk menyuruh melakukan semata sebagai instrument tidak lagi bersifat menentukan.[9]
c. Mereka yang Turut Serta Melakukan (Medepleger)
Pada tujuan ajaran penyertaan bahwa seseorang yang tidak memenuhi seluruh unsur tindak pidana dapat dipidana karena peranannya dalam terwujudnya tindak pidana. Dalam turut serta ini yang termasuk dalam bagian bentuk penyertaan mensyaratkan seseorang terlibat dalam tindak pidana. Namun apakah seorang tersebut harus memiliki kesengajaan atau kualitas yang sama dengan pelaku materil, undang-undang tidak memberikan pengertian secara mendalam mengenai hal demikian. Hanya saja para sarjana memberikan pengertian dari maksud “turut serta melakukan” sebagai bagian dari bentuk penyertaan.
Menurut Roeslan Saleh “mereka yang turut serta melakukan” perbuatan tindak pidana adalah mereka yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Jadi mereka yang dengan sengaja ikut mengerjakan.[11] Namun beliau juga mengingatkan bahwa janganlah hendak mengartikan bahwa dalam hal turut serta melakukan ini tiap-tiap peserta ini harus melakukan perbuatan-perbuatan pelaksanaan. Yang utama adalah bahwa dalam pelaksanaan perbuatan pidana itu ada kerja sama yang erat antara mereka itu, hal ini kiranya dapat ditentukan sebagai hakekat dari turut serta melakukan.[12]
Selain itu juga A.Z. Abidin dan A. Hamzah memberikan definisi turut serta sebagai berikut:[13]
Para pelaku-peserta (penulis: turut serta (medepleger)) ialah dua orang atau lebih orang bekerja sama secara sadar dan bersama-sama melakukan perbuatan-perbuatan yang secara keseluruhan mewujudkan delik atau pun sesuai dengan kesepakatan pembagian peran, seorang melakukan perbuatan yang sangat penting bagi terwujudnya delik (tindak pidana).
Pengertian turut serta di atas memberikan dua syarat dapat dikatakan sebagai turut serta melakukan, yaitu adanya kesadaran dalam bekerja sama, sehingga terdapat kerja sama yang erat dan adanya kesengajaan dalam mewujudkan tindak pidana. Selain itu juga Loebby Luqman memberikan syarat dalam terbentuknya turut serta melakukan, yaitu syarat yang diperlukan adanya penyertaan yang berbentuk ikut serta adalah:
1) Harus ada kerja sama dari tiap; dan
2) Kerja sama dalam tindak pidana harus secara phisik.
Pada ukuran turut serta yang disebabkan karena adanya kerja sama yang erat, apakah pada tiap pelaku-peserta (pelaku materil dan turut serta) harus memenuhi seluruh unsur tindak pidana atau hanya sebatas pada peserta yang lain melakukan sebagian saja dari rumusan unsur tindak pidana. Dalam hal ini para sarjana memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Van Hamel dan Trapman menyamakan pengertian medeplegerschap dan medeplegen, mensyaratkan bahwa dua orang yang dapat termasuk medeplegers masing-masing tersendiri harus memenuhi seluruh isi delik (penulis: tindak pidana), dengan kata lain bahwa tiap-tiap pelaku peserta harus memahami semua unsur-unsur delik yang diuraikan di dalam undang-undang pidana secara sempurna.[14] Pendapat tersebut mensyaratkan bahwa mereka yang “turut serta melakukan” juga harus memenuhi seluruh rumusan dalam tindak pidana. Sehingga jika tidak terpenuhinya seluruh rumusan tindak pidana, menurut pendapat ini bukanlah sebagai “turut serta melakukan”.
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Langemeijer, bahwa medeplegen (turut serta melakukan), sebagai suatu bentuk penyertaan tidak mensyaratkan bahwa tiap-tiap orang yang bekerja sama harus mewujudkan semua unsur delik (penulis: tindak pidana) seperti rumusan doen plegen (penyuruh, hal pembuat pelaku) semua unsur-unsur delik dapat dibagi oleh pelbagai orang. Akan tetapi harus dimungkinkan pula bahwa seseorang pelaku-peserta melakukan perbuatan, yang menurut uraian delik merupakan perbuatan pelaksanaan, sedangkan pelaku-peserta lain melakukan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan yang sesuai uraian delik, namun untuk pelaksanaan perbuatan disebut pertama sangat penting.[15]
Dalam hal ini pengertian yang dikemukakan oleh Langemeijer yang menurut penulis sesuai dengan ajaran penyertaan. Bahwa tujuan dari ajaran penyertaan adalah memidana seorang yang terlibat dalam tindak pidana, tetapi perbuatannya tidak memenuhi seluruh rumusan tindak pidana. Hal ini penting untuk digaris bawahi karena tujuan kriminalisasi turut serta adalah, dalam konteks dualistis, memperluas norma dan kaedah yang terkadung dalam tindak pidana, baik subjek, norma perbuatan yang menjadi unsur pembentuk tindak pidana ataupun sifat melwan hukum yang melekat pada perbuatan itu, sehingga kontruksi tindak pidana tidak lagi dirumuskan untuk pelaku tunggal, melainkan diperluas dan dapat dilakukan oleh beberapa orang.[16]
d. Mereka yang Menganjurkan Orang Lain Melakukan Tindak Pidana (Uitlokkers)
Istilah dalam bentuk penyertaan ini oleh para sarjana digunakan dengan istilah yang saling berbeda. Istilah uitlokker oleh sebagian sarjana hukum pidana di Indonesia diterjemahkan dengan istilah pembujuk, hanya Moeljatno menggunakan istilah penganjuran untuk uitlokking. Selain itu Lamintang menerjemahkan uitlokken dengan menggerakkan orang lain. Kemudian juga Andi Zainal Abidin dan Andi hamzah menggunakan istilah memancing.[17]
Penganjuran merupakan bentuk dari penyertaan yang terjadi sebelum dilaksanakannya tindak pidana. Sebelum pelaku tindak pidana melakukan perbuatannya, penganjur terlebih dahulu melaksanakan bentuk penganjurannya kepada pelaku tindak pidana. Sebagaimana menurut Moeljatno, dalam hal uitlokken terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan (auctor intellectuallis) dan orang yang dianjurkan (auctor materialis atau materiele dader). Bentuk menganjurkan, berarti auctor intellectuallis (si pelaku intelektual), menganjurkan orang lain (materiele dader) untuk melakukan perbuatan pidana.[18] Antara daya upaya yang dipergunakan oleh auctor intellectuallis dengan tindak pidana yang dilakukan oleh auctor materriallis harus ada hubungan kausal.[19]
Selain itu menurut Roeslan Saleh, penganjur menganjurkan seseorang lain melakukan suatu delik (penulis: tindak pidana), yang karenanya orang lain diancam dengan pidana. Jika orang lain tersebut melakukan delik, maka ia tentu harus memenuhi unsur-unsur delik, tidak boleh ada alasan penghapusan pidana.[20] Pendapat tersebut menjelaskan bahwa bentuk penganjuran berbeda dengan penyuruhan. Dalam hal penyuruhan seorang yang disuruh tidak dapat dipidana, tetapi sebaliknya penganjuran seorang yang dianjurkan untuk melakukan tindak pidana dapat dipidana. Hal tersebut yang menjadi pembatas tajam antara penyuruhan dan penganjuran. Oleh karena itu untuk dikatakan ada penganjuran harus memenuhi syarat-syarat:[21]
1) Harus ada yang memiliki kesengajaan untuk melakukan tindak pidana dengan cara menganjurkan orang lain;
2) Harus ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang sengaja dianjurkan;
3) Cara menganjurkan harus dengan cara-cara atau salah satu daya upaya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) Ke-2 KUHP, yaitu:
a) Dengan memberi atau menjanjikan sesuatu;
b) Dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;
c) Dengan kekerasan;
d) Dengan memakai ancaman atau penyesatan; dan
e) Dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan.
e. Pembantuan (Medeplichtige)
Pembantuan merupakan bagian dari penyertaan yang diatur secara tersediri dalam Pasal 56,57, 60 KUHP. Istilah pembantuan sebagai terjemahan medeplichtigheid merupakan istilah yang dipakai oleh para ahli hukum pidana Indonesia. Dalam berbagai literatur hukum pidana sudah umum dipakai istilah pembantuan tersebut.[22]
Pembantuan dapat terjadi pada saat terjadinya tindak pidana yang sedang dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan rumusan tentang pembantuan “mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan”. Selain itu juga pembantuan dapat terjadi sebelum tindak pidana dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh, bahwa pembantuan dibedakan dari antara dua macam, yaitu pembantuan pada saat melakukan kejahatan, dan pembantuan yang mendahului perbuatannya, dengan memberi kesempatan, sarana (alat-alat) atau keterangan-keterangan.[23] Namun demikian Jan Remmelink berpandangan bahwa bantuan seorang pembantu pelaku (medeplichtige) tidak mutlak harus memberi pengaruh seperti yang dibayangkan semula. Pada prinsipnya, bantuan harus merupakan sumbangan (yang signifikan) terhadap terwujudnya tindak pidana pokok. Bagi pelaku, bantuan ini secara rasional berdasarkan ukuran pengalaman sehari-hari, harus memiliki satu makna khusus meskipun hanya sekedar sebagai penyemangat atau hanya sebagai tanda bahwa keadaan aman (untuk melakukan tindak pidana). Ini segera tampak bilamana pelaku benar dapat mengambil keuntungan dari bantuan yang diberikan. Sebaliknya, bantuan tersebut juga dapat tidak sedemikian penting bagi pelaku. Tidaklah perlu dibuktikan bahwa tanpa bantuan, pelaku tidak mungkin dapat menuntaskan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, kualitas adekuat sebagai suatu kemungkinan juga dianggap memadai.[24] Dengan demikian menurut Ramelan, dalam bentuk pembantuan diperlukan adanya hubungan kausalitas antara bantuan yang diberikan dengan terwujudnya tindak pidana pokok yang dilakukan oleh pembuat. Hubungan kausal ini tidak perlu menunjukkan adanya kausalitas adekuat sebagai suatu kepastian, tetapi juga bila hanya sebagai suatu kemungkinan yang diperlihatkan dalam bentuk peranan yang tidak penting dari orang yang membantu.[25]
Ketentuan tersebut di atas merupakan suatu upaya dalam membedakan secara tajam antara turut serta dan pembantuan yang dalam praktek memang sulit untuk dibuktikan. Pembedaan tersebut tidak hanya sebatas pada peranan yang dilakukan oleh seorang yang terlibat pada terwujudnya tindak pidana, tetapi juga memiliki implikasi pada putusan pengadilan yang membedakan antara turut serta dan pembantuan. Menurut KUHP, ancaman pidana pada pembantuan, yaitu maksimum pidana pokok terhaap kejahatan, dikurangi sepertiga, jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Selanjutnya juga membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana. Ketentuan tersebut menjadikan pembantuan dipandang kurang keterlibatannya dengan bentuk penyertaan lainnya.
[1] Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 308.
[2] Moeljatno, Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, cetakan kedua, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hlm. 105.
[3] S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hlm. 332.
[4] Ibid, hlm. 335.
[5] Roeslan Saleh, Tentang Delik Penyertaan, (Pekanbaru: Fakultas Hukum Islam Riau, 1989), hlm. 20.
[6] Moeljatno, op.cit, hlm. 123-124.
[7] S.R. Sianturi, op.cit, hlm. 335.
[8] Ibid, hlm. 336.
[9] Jan Remmelink, op.cit, hlm. 311.
[10] Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang . . . , op.cit, hlm. 98.
[11] Ibid, hlm. 98.
[12] Ibid.
[13] A.Z. Abidin dan A. Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Perobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penetensier, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002), hlm. 211.
[15] Ibid, hlm. 190.
[16] M. Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan dalam Ajaran Penyertaan, Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 66.
[17] A.Z. Abidin dan A. Hamzah, op.cit, hlm. 220-221.
[18] Moeljatno, Delik-delik . . . , op.cit, hlm. 125.
[19] Ramelan, Perluasan Ajaran Turut Serta dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Transnasional, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan, 2009), hlm. 134.
[20] Roeslan Saleh, Tentang Delik Penyertaan, op.cit, hlm. 49-50.
[21] Moeljatno, Delik-delik Percobaan . . . , op.cit, hlm. 186.
[22] Ramelan, op.cit, hlm. 136.
[23] Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang . . . , op.cit, hlm. 100.
[24] Jan Remmelink, op.cit, hlm. 324.
[25] Ramelan, op.cit, hlm. 137.
Comments
Post a Comment