Skip to main content

PENYERTAAN: DALAM AJARAN DUALISTIS

Pengertian tindak pidana tidak mencakup di dalamnya tentang keadaan batin pembuat. Tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana bagi barang siapa yang melakukan perbuatan terlarang tersebut. Keadaan batin pembuat tersebut termasuk dalam lingkup kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang menjadi dasar etik dapat dipidananya pembuat.[1] Hal tersebut antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang berbeda, bahkan lebih jauh lagi harus dipisahkan. Menurut Chairul Huda, pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dilakukan karena keduannya memiiki karakteristik yang berbeda. Tindak pidana sebagai perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana, sedangkan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak pada orang yang melakukan tindak pidana, yang dengan demikian berhubungan dengan penentuan dapat dipertanggungjawabkannya yang bersangkutan.[2] Pendapat tersebut berpangkal tolak dari teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, atau yang dapat disebut juga dengan teori dualistis.   
Teori dualistis muncul sejak pidato pengukuhan guru besar yang disampaikan oleh Moeljatno tahun 1955. Menurut Moeljatno, yang menggunakan istilah tindak pidana dengan perbuatan pidana, yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggr larangan tersebut.[3] Ketentuan tersebut tentu mereduksi sikap batin dari seorang yang melakukan tindak pidana tersebut, karena sikap batin pembuat tidak tercakup dalam pengertian tindak pidana. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana membatasi perbuatan mana yang oleh hukum boleh dilakukan dan perbuatan yang dilarang dilakukan. Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui perbuatan-perbuatan yang oleh hukum pidana disebut sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, sehingga rumusan tindak pidana seharusnya disusun dengan bahasa yang jelas dan singkat agar mudah dipahami oleh segenap masyarakat.
Pendapat di atas tentu saja menjadikan adanya tindak pidana tidak ditentukan pada ada atau tidaknya seorang yang melakukan tindak pidana tersebut, melainkan terletak pada ada atau tidaknya aturan terhadap perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Berbeda halnya dengan pertanggungjawaban pidana. Pada pertanggungjawaban pidana, seseoang dapat dipertanggungjawabkan pidana jika telah ada sebelumnya tindak pidana yang dilakukan olehnya. Dengan demikian tindak pidana menjadi syarat seseorang dipertanggungjawabkan pidana. Sebagaimana menurut Chairul Huda, “pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana”.[4]
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk hal pertanggung-jawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak.[5] Dengan perkataan lain bahwa kesalahan bukanlah sebagai unsur dari tindak pidana, melainkan kesalahan terpisah dari rumusan tindak pidana, bahkan jauh dari pada itu berada di luar unsur tindak pidana. Oleh karenanya seorang yang melakukan tindak pidana dapat terhindar dari pidana, kecuali terdapat kesalahan pada dirinya. Sebagaimana asas tidak tertulis yang berlaku dalam hukum pidana, yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld). Adanya kesalahan pada diri seseorang, apabila pada waktu melakukan perbuatan (tindak) pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin demikian.[6] Dengan demikian jika kesalahan menjadi syarat seseorang dapat dijatuhi pidana, maka kesalahan menjadi alat pengukur jumlah pidana yang dijatuhkan.
Dalam hal pertanggungjawaban ini, Barda Nawawi Arief mengemukakan:
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawaban, dan ini harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun, dalam kenyataannya memastikan siapa si pembuat adalah tidak mudah dan sulit. Selanjutnya setelah pembuat ditentukan, bagaimana selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidananya? Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat (yang melakukan tindak pidana). Artinya, pengertian subjek tindak pidana dapat meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini tergantung juga pada cara atau sistem yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.[7]

Hal tersebut juga berlaku pada tindak pidana penyertaan. Menurut M. Ainul Syamsu, seorang pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang tidak memenuhi rumusan delik (tindak pidana), kecuali apabila rumusan delik (tindak pidana) tersebut diperluas sehingga mencakup perbuatan tersebut.[8] Sebagaimana menurut Moeljatno yang mengikuti pendapat Pompe yang mengatakan bahwa penyertaan sebagai perluasan rumusan tindak pidana (tatbestandausdehnungsgrund). Hal tersebut karena menurutnya pendirian inilah (pendapat Pompe) yang sesuai dengan sistematik saya bahwa sebelum orang itu dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dia harus sudah melakukan perbuatan pidana lebih dahulu. Karena itu di samping delik-delik biasa, ada delik-delik percobaan dan delik-delik penyertaan, dan delik penyertaan ini adalah juga tatbestandausdehnungs-grund seperti halnya delik percobaan.[9]
Perluasan tindak pidana ini mengupayakan untuk mempertang-gungjawabkan pembuat tindak pidana yang perbuatannya tidak memenuhi rumusan tindak pidana. Hal tersebut karena tidak mungkin mempertanggungjawabkan seseorang yang sebelumnya tidak melakukan tindak pidana atau perbuatannya tidak memenuhi rumusan tindak pidana. Namun sangat mungkin memasukkan larangan yang disertai ancaman pidana (merumuskan sebagai tindak pidana) ‘hubungan tertentu’ seseorang dengan orang lain yang melakukan tindak pidana.[10] Merumuskan sebagai tindak pidana ‘hubungan tertentu’ seseorang dengan pelaku materil, karena pembuat tindak pidana (kecuali pelaku materil) memiliki keterlibatan dalam terwujudnya tindak pidana. Oleh karena itu keterlibatan seseorang dengan pelaku meteril dipandang sebagai perbuatan yang tercela. Dengan demikian perbuatan yang tercela tersebut diteruskan kepada pembuat sebagai bentuk dari pertanggungjawaban pidana. Keterlibatan tersebut memiliki arti sebagaimana yang diatur pada Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, yaitu mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang turut serta melakukan, mereka yang menganjurkan untuk melakukan, dan mereka yang membantu melakukan. Bentuk-bentuk tersebut merupakan perluasan tindak pidana yang pada awalnya disusun dan dirumuskan untuk satu orang pelaku.
Dalam hal ini, para pembuat yang telah disebutkan di atas, dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri, bukan karena mereka mempertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain. Dengan demikian pada tiap pembuat memiliki kesalahan yang berbeda-beda, meskipun pada akhir penjatuhan pidana sama atau bahkan dipersamakan. Hal tersebut tentu tidak menjadi persoalan. Hanya saja yang terpenting pada tahap mempertanggungjawabkan pidana para pembuat tindak pidana penyertaan tidak mempertanggungjawabkan atas kesalahan pelaku tindak pidana lain, tetapi karena ia sendiri melanggar kaidah dan norma yang diperluas dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.



[1] M. Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran Penyertaan, Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 17.
[2] Chairul Huda, Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Tinjauan kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,Edisi Pertama, cetakan keempat (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 15-16.
[3] Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, cetakan kelima, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1993), hlm. 54.
[4] Chairul huda, op.cit, hlm. 20.
[5] Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan Dalam Hukum Pidana, cetakan kedua (Aksara Baru, 1985), hlm. 80.
[6] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, cetakan kedua (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hlm. 77.
[7] Barda Nawawi Arief, “Masalah Pemidanaan sehubungan Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat Moder”. Kertas Kerja, Pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang mengalami Modernisasi BPHN-FH UNAIR Surabaya, Tanggal 25-27 Februari 1980 (Bandung: Bina Cipta, 1982), hlm. 105-107.
[8] M. Ainul Syamsu, op.cit, hlm. 29.
[9] Moeljatno, Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, cetakan kedua, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hlm. 64..
[10] Chairul Huda, op.cit, hlm. 41.

Comments

Popular posts from this blog

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN

a.       Mereka yang Melakukan (Pleger) Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku ( plager ) bukan seorang yang turut serta (deelnemer) , kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak - pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku ( dader ), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku ( pleger ) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka. [1] Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang - undang. Dengan kata lain seseorang dap

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (STRAFTRECHTERLIJKE TOEREKENING) DALAM AJARAN DUALISTIS

Kajian dalam hukum pidana memang tidak dapat terlepas dari tiga kajian pokok, yaitu tindak pidana (criminal act) , pertanggungjawaban pidana (criminal liability) , dan pidana (punishment) . [1] Ketiga pokok persoalan tersebut di atas diperlukan kajian yang berbeda dalam ilmu hukum pidana. Persoalan pertanggungjawaban pidana tidak termasuk dalam pembahasan tindak pidana. Pembahasan pertanggungjawaban pidana seharusnya dilihat dari luar pembahasan tindak pidana. Pembahsan dalam tindak pidana hanya sebatas pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana bagi barang siapa yang dengan kelakuannya melakukan tindak pidana. [2] oleh karena itu, pada tindak pidana hanya diatur sebatas padda unsur objektif, atau unsur-unsur pada perbuatan. Pertanggungjawaban pidana merupakan proses penentu seorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Karena jika seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana. Sesuai dengan ajaran dualistis, yakni

PROSEDUR PENEGAKAN HUKUM PIDANA MELALUI SENTRA GAKKUMDU PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan Umum merupakan implementasi dari prinsip demokrasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan secara langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di wilayah masing-masing. Pelaksanaan tersebut meliputi persiapan, pelaksanaan, serta partisipasi masyarakat dalam  Pemilihan Umum. Tentu kesuksesan dalam melaksanakan rangkaian tahapan tersebut menjadi indikator dari kesuksesan dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum kali ini dilakukan secara serentak untuk beberapa wilayah di Indonesia, yang meliputi Pemilihan Umum untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahu